Minggu, 22 November 2009

Selingkuh Itu Alamiah

KOMPAS.com — Hasil suatu pengkajian yang pernah dilaporkan di jurnal Science, edisi September 1998, menyebutkan bahwa selingkuh (infidelity) itu alami (natural).

Hasil itu memperlihatkan bahwa sembilan di antara sepuluh mamal (binatang menyusui) dan burung yang berpasangan untuk hidup ternyata tidak jujur terhadap pasangan mereka.

Para ahli mendapati, binatang yang berkeliaran untuk saling kawin hanyalah mengikuti kebutuhan biologis mereka. Penelitian yang, antara lain, menggunakan teknik uji coba genetik (genetic testing) itu memperlihatkan bahwa bahkan pasangan binatang yang dikenal saling setia dengan pasangannya, juga berupaya mendapatkan pasangan seksual dengan yang lain.

Menurut Dr Stephen T Emlen, seorang ahli perilaku evolusioner dari Cornell University, Amerika Serikat, betina berkeliaran untuk mendapatkan gen sebaik mungkin bagi keturunannya, sedangkan jantan terdorong hasrat untuk menjantani sesering dan sebanyak mungkin. “Monogami yang sebenarnya sungguh jarang,” katanya.

Dr Emlen berpendapat, ada dua macam monogami, yaitu sosial dan genetik. Pada jenis yang pertama, pasangan mengikat diri dan bekerja bersama untuk membesarkan anak, sedangkan pada monogami genetik para induk adalah pasangan seks yang saling setia. Bila monogami sosial relatif sudah umum, monogami genetik adalah suatu kekecualian dan bukanlah peraturan.

Dikatakan, hanya ada dua jenis monyet, marmoset dan tamarin, yang benar-benar penganut monogami. Semua jenis primata yang lain sering kawin dengan yang bukan pasangannya. “Salah satu polanya adalah betina mencari status dan kualitas tinggi,” tutur Dr Emlen.

“Dengan cara itu betina mampu melahirkan keturunan dengan kualitas lebih tinggi yang memiliki kemampuan untuk hidup dan bertahan.” Si jantan secara biologis digerakkan untuk keluyuran dengan hasrat untuk menyebarkan gen ke dalam kawanan mereka sebanyak mungkin.

Contoh lain diperoleh dari burung. Kesetiaan dalam berpasangan seks sudah lama diyakini terdapat dalam kawanan burung. Bluebird, sejenis burung yang pandai menyanyi, merupakan salah satu contoh terbaik. Pasangan jantan dan betina bekerja bersama untuk membuat sarang, mengerami telur, kemudian memberi makan dan membesarkan keturunan mereka yang masih muda.

Meski begitu, periset mendapati perselingkuhan yang juga tinggi dalam kehidupan seks burung bluebird. Patricia Adair Gowarty, seorang ahli perilaku lingkungan hidup dari University of Georgia, mendapati bahwa 15 persen hingga 20 persen bayi burung yang diasuh oleh pasangan bluebird bukanlah keturunan biologis si jantan. Menurut Gowarty, hanya 10 persen dari 180 spesies itu yang secara sosial bermonogami, benar-benar setia secara seksual.

Tentu saja manusia jauh berbeda dengan binatang. Alasan manusia untuk mendapatkan seks di luar pasangan juga jauh lebih rumit dan kompleks. Satu hal yang secara umum diyakini periset, monogami tercipta di antara spesies yang keturunannya sanggup bertahan dengan baik karena dibesarkan oleh pasangan yang utuh. Secara evolusi, mungkin ini yang mendorong manusia untuk bermonogami karena anak-anaknya perlu waktu lama untuk menjadi dewasa.

Pesan AntiKorupsi di "Pohon Harapan"

JAKARTA, KOMPAS.com - Opini dan harapan ditulis warga pada secarik kertas untuk ditempelkan di pohon harapan. Pemandangan ini terjadi dalam aksi simpatik untuk memberikan dukungan terhadap rekomendasi tim delapan dan pemberantasan korupsi yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (22/11). Masih di acara yang sama, juga digelar lomba makan roti buaya dan aksi penandatanganan di atas selembar kain.

saran saya : brantas korupsi di negara kita
hidup indonesia................!!!!!!!!

Google Dilaporkan Akan Merilis Ponsel

"Bersiaplah untuk Google Phone," tulis Michael Arrington di TechCrunch pada hari Selasa. "Ini tidak lagi sebuah mitos, itu nyata."

Sebulan yang lalu, Google mengatakan sebaliknya. Pada Oktober, VP mobile platform di Google Andy Rubin mengatakan "Kami tidak membuat perangkat keras. Kami menyediakan bagi orang lain untuk membangun perangkat keras."

Jadi, mana yang benar? Juru bicara Google menolak memberikan komentar mengenai apakah pernyataan Rubin tetap berlaku.

Arrington memperkuat klaimnya dengan menyatakan bahwa telepon Google sebagai perangkat data yang hanya untuk VOIP.

Jika seperti itu maka mirip sebuah iPod yang diperkuat dengan Google Voice. Dan jika itu benar, maka cocok bagi mereka belum cukup untuk membayar layanan telepon selular.

William Stofega, Manajer Program IDC untuk perangkat mobile teknologi dan tren, mengatakan tidak terkejut jika dia melihat sebuah ponsel bermerek Google, mengingat bahwa ponsel G1 asli tidak memiliki nama HTC. Sedangkan telepon baru Motorola Droid mengusung branding Google.

"Google jelas punya uang untuk pergi ke Taiwan dan membuat perangkat putih,” katanya.

"Tapi apa hasil akhirnya dan apa yang bisa sampai di sana dalam cara yang lebih efisien? Aku tidak melihat dengan memiliki perangkat keras sebagai penyelesaian."

Pengamat industri lainnya berbagi skeptisisme. Membangun merek telepon Google, kata Stofega bisa menjauhkan operator selular yang telah mendukung Android.

Dan hal itulah yang ingin dihindari Google dalam membangun momentum platform Android. [ito]

Enam Dimensi Analisis Industri

Sudah tentu bisnis yang kita kelola berada pada lingkungan industri tertentu. Namun untuk suatu bisnis, pembicaraan lingkungan
industri lebih mengarah pada aspek persaingan. Arah yang mengungkap dimensi-dimensi lingkungan industri apa yang semestinya diperhatikan dalam kepentingan mampu bersaing berbasis power. Adalah kurang tepat bila power tidak diperbandingkan dengan pesaing. Dari karena hadirnya jebakan kualitas standar subyektif. Oh bisnis kita ini hebat semua karyawannya bergelar ahli madya lantas melirik kesamping aduh ternyata pesaing semua karyawannya sudah bergelar sarjana.
Terdapat enam obyek tempat power berada sebagai dimensi analisis lingkungan industri. Pertama, power pendatang baru yang dijabarkan kedalam: tingkat skala ekonomi, differensiasi produk, kecukupan modal, biaya peralihan, akses pada saluran distribusi, dan peraturan pemerintah. Kedua power pesaing yang dijabarkan pada : kuantitas pesaing, tingkat pertumbuhan industri, karakteristik produk, besarnya biaya tetap, kapasitas produksi, dan hambatan keluar. Ketiga, power produk substitusi yang kuat bilaman sedikit switching cost dan harga rendah pada kualitas yang sama. Keempat, power pembeli yang mampu mempengaruhi harga produk dan kuantitas termasuk mengadu domba bisnis. Kelima, power supplier yang mempengaruhi industri industri lewat kemampuannya menaikan harga atau menurunkan kuaitas bahan mentah seperti karena jumlah yang sedikit maupun unik dan mereka dapat melakukan integrasi kedepan. Yang terakhir adalah power stakeholders lainnya seperti pemerintah, serikat kerja, masyarakat dengan inti keberadaan mempunyai pengaruh dan kepentingan secara langsung kepada bisnis kita. Enam power telah dikemukakan diperbandingkan dengan power bisnis kita sendiri sehingga memberikan posisi bisnis dalam kancah industri. Bila berada pada posisi bukan pertama, maka strategi meningkatkan power adalah penting diupayakan. Dan bila ternyata posisi pertama, maka kepentingan mempertahankan tidak melupakan adanya peningkatan. Dimana bisnis berpijak disitu langit mengurung sama seluruh isinya.

Longsor di Purworejo, 285 Keluarga Terisolasi

Minggu, 22 November 2009 | 03:32 WIB

Purworejo, Kompas - Sebanyak sembilan rumah roboh dan 37 rumah lainnya rusak ringan menyusul longsornya perbukitan Menoreh di Desa Cepedak dan Desa Giyombong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Jumat sekitar pukul 20.00. Meski tidak jatuh korban jiwa, longsor mengakibatkan Desa Giyombong yang berpenduduk 285 keluarga terisolasi.

Kepala Seksi Perlindungan Masyarakat Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Purworejo Hardoyo mengatakan, pihaknya masih mendata kerusakan dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh longsor tersebut. ”Sejauh ini nilai kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah,” ujarnya, Sabtu (21/11).

Kepala Desa Giyombong Yogi Santoso mengatakan, sejak Jumat malam evakuasi warga berikut barang-barang yang dapat diselamatkan sudah mulai dilakukan. Penduduk sudah diungsikan ke rumah tetangga atau kerabat yang lokasinya aman.

Longsor didahului turunnya hujan lebat sejak Jumat sekitar pukul 16.00. Menjelang malam, muncul beberapa titik longsor kecil. Pada malam hari, warga desa menyelamatkan diri karena sejumlah rumah mulai tertimpa longsor.

Longsoran tanah datang dari perbukitan Menoreh sebelah barat yang berketinggian 40-50 meter. Sebanyak 8 dari 9 rumah yang roboh berada di Desa Giyombong. Satu rumah lain ada di Desa Cepedak. Sementara dari 37 rumah yang rusak, 35 rumah berada di Desa Giyombong dan dua rumah di Desa Cepedak.

Di Desa Giyombong, longsor juga merobohkan tiang listrik dan memutus saluran pipa air yang dipasang warga. Akibatnya, aliran listrik padam dan warga kesulitan memperoleh air bersih.

Jalan desa terputus

Ada 49 titik longsor yang menutupi jalan yang menghubungkan Desa Giyombong hingga pusat Kecamatan Bruno yang berjarak sekitar 20 kilometer. Satu titik longsor bisa menutupi jalan sepanjang 3-20 meter. Kondisi ini membuat akses benar-benar tertutup dan tidak dapat dilalui kendaraan apa pun, termasuk roda dua sekalipun.

Desa Giyombong adalah desa terakhir di Kecamatan Bruno yang bersebelahan dengan Sapuran, Kabupaten Wonosobo.

Di Kabupaten Cilacap, hujan lebat juga mengakibatkan longsor dan banjir di Kecamatan Karangpucung. Longsor menimpa rumah seorang warga dan menimbun jalan antardesa yang menghubungkan Desa Surusunda dan Desa Pamulihan.

Sungai Ciraja dan Sungai Darmaji di wilayah itu meluap serta merendam sekitar 3 hektar lahan pertanian dan 15 rumah warga. ”Ketinggian air mencapai 70 sentimeter. Tetapi, Sabtu pagi air sungai mulai surut,” kata Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban Kecamatan Karangpucung Aji Pramono. Satu tiang listrik juga roboh, mengakibatkan aliran listrik di tiga desa padam. (EGI/MDN)

menuurt pendapat saya, warga/desa yang terkena musibah tanah longsor, segera di evakuasi, takut nya ada tanah longsor susulan, dan segera memberi bantuan pada korban, baik bantuan berupa : makanan,P3K,tenda(buat tempat tidur bagi warga yang terkena musibah),selimut. demikian pendapat dari saya semoga para korban dapat beraktifitas kembali seperti biasanya.

Selasa, 03 November 2009

pertambahan penduduk dan lingkungan permukiman.doc

 

Makalah Kebijakan

 

 

MOBILITAS PENDUDUK N0N-PERMANEN DI PERMUKIMAN KUMUH KOTA SURABAYA: Kebijakan Pengelolaan

 

Oleh : Suko Bandiyono [1]

 

 

 

 

Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota tersebut.  Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki sebagai urban island.  Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai  kesempatan dalam upaya  memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan.  Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Surabaya itu sendiri telah berkembang  dalam proses interaksi  dari komponen keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga  telah melahirkan “ ecological urban  complex”.

 

Sejalan dengan  kondisi  yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya kota-kota metropolitan yang lain, muncul  kamajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters.  Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat  dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya  masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya sehingga   telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-ekonomi daerah perdesaan.  Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah menimbulkan proses migrasi , antara lain   penduduk non-permanen pada strata sosial-ekonomi bawah.

 

Pada tataran regional, adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis antara Kota Surabaya dengan daerah belakang  telah berlangsung puluhan tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya kualitas  pendidikan migran non-permanen  dan umumnya mereka  bekerja sebagai buruh dan sebagian lain  berusaha pada sektor informal. Sepanjang pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan,  maka keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak, menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah, menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.

 

Oleh karena itu keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman kumuh  Kota Surabaya merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya mematuhi perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup pada masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun mereka banyak pula yang datang  dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi Jawa Timur.

 

Migran non-permanen yang banyak  tinggal di daerah permukiman ilegal tersebut sering disebut sebagai penduduk spontan atau disebut secara popular sebagai migran  musiman , ternyata  masih terikat dengan kehidupan daerah asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan KTP  Pemkot Surabaya telah membuat kebijakan dengan  memberi prioritas dalam memperoleh  atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi. Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian  warga musiman  dapat ikut  menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa pemerintah kota tidak  ketat antara  status kependudukan dengan hak-hak warganya. Aturan kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam implementasinya, tentunya telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya migrasi masuk ke Surabaya, yang pada gilirannya  menimbulkan berbagai  masalah perkotaan, antara lain  ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial, munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung lingkungan, dan meningkatnya pengangguran.

 

Penduduk musiman yang umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan memiliki Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus  mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan yang dinilai cukup memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan  sebagai warga musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara  de fakto mereka tinggal di Surabaya, namun  masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini  telah menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng”  (chain migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah punya rumah),   mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan  jumlah pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan kepemilikan KIPEM.

 

Keberadaan migran non-permanen di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU[2]. Meskipun mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian,  jelas akan mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman demikian.

 

Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan managemen  dalam mengelola tata ruang  kota. Upaya telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan dan  membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun  bagi keluarga kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat  swasta untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya  yang sangat mahal. Meskipun untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.

 

Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun  telah memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan kota. Kota Surabaya telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama  sangat diperlukan bagi usaha formal maupun  masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan  yang relatif  murah.

 

 

Isu dan Rekomendasi Kebijakan

 

Secara umum, pada saat ini Kota Surabaya tengah menghadapi berbagai masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat, terutama masuknya migran non-permanen dalam skala besar dan telah berlangsung lama. Hal ini telah mengakibatkan persoalan yang terkait dengan permukiman kumuh, padahal Kota Surabaya telah berkomitmen untuk mendukung program “City Without Slum”. Mengingat persoalan di kota Surabaya terkait erat dengan daerah belakang maka hubungan harmonis dalam tataran regional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain yang berdekatan adalah saling membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi Indonesia selama ini maka persoalan  yang diakibatkan oleh isu tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian, upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan. Upaya mengatasi persoalan Kota Surabaya sebagai akibat masuknya migran non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan yang sifatnya mikro atau spesifik.

 

Rekomendasi Untuk Kebijakan Makro

 

  1. MENUJU  PEMBANGUNAN DAERAH ASAL MIGRAN

 

      Distribusi penduduk  mempunyai hubungan erat dengan proses pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Dengan kata lain bahwa migrasi penduduk dapat dilihat sebagai akibat pembangunan. Daerah yang maju dalam pembangunan akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih baik daripada daerah yang pembangunannya masih terbatas. Mengingat bahwa orang akan selalu ingin meningkatkan kehidupannya dengan mencari akses yang lebih baik, maka ada kecenderungan bahwa orang akan melakukan migrasi dari daerah  yang mempunyai ketegori negatif menuju daerah yang masuk kategori positif. Oleh karena itu motif utama migrasi ke daerah perkotaan akan dilatarbelakangi dengan alasan ekonomi di samping ada alasan non-ekonomi. Variasi demand yang diciptakan oleh  pembangunan ekonomi pada akhirnya juga akan menciptakan sekmentasi dalam pasar kerja.     Pembangunan yang urban bias telah menempatkan Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar ke dua di Indonesia, sehingga telah menjadi pusat peradaban. Pembangunan investasi yang pesat di Kota Surabaya selain telah meningkatkan kemampuan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini telah menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan dengan daerah lain di seputar Surabaya . Sebagai akibatan atas hal tersebut antara lain telah menimbulkan mobilitas penduduk non-permanen dari daerah perdesaan ke Surabaya dan telah menimbulkan dampak negatif berupa permukiman kumuh.

 

      Mengingat bahwa Kota Surabaya tidak mungkin mampu menghentikan  laju arus mobilitas tersebut, maka perlu diambil kebijakan untuk mengarahkan arus migrasi tersebut dengan meningkatkan peran  zona atau pusat pertumbuhan orde kedua dan zona  orde ketiga, terutama di Jawa Timur. Dengan meningkatnya peran pusat pertumbuhan tersebut maka arus mobilitas non-permanen yang kurang selektif  dapat dihambat. Migran non-permanen yang umumnya datang dari daerah perdesaan akan terserap di kota-kota lain seperti Kediri, Malang, Madiun,  Jember, Lumajang, Sragen, Dampit dan Bojonegoro. Untuk dapat meningkatkan peran kota-kota di luar Surabaya, tentunya perlu langkah kongkrit berupa kemudahan bagi investor ( antara lain keringanan pajak dan kredit) agar menanamkan modalnya untuk usaha yang sifatnya padat karya. Dengan kebijakan  demikian akan mempercepat proses defusi urbanisasi ke daerah hinterland, yang pada gilirannya dapat bermuara pada peningkatan daya serap tenaga kerja perdesaan. 

 

     Daerah perdesaan sebaiknya meningkatkan perbaikan prasarana umum dalam bentuk jalan, pusat pelayanan masyarakat, penyediaan air bersih, penyebaran sekolah dan pusat kesehatan. Dengan perbaikan pilihan-pilhan yang dapat diperoleh di perdesaan maka akan membuat orang lebih berkeinginan untuk tetap tinggal.  Selain itu investasi di Kota Surabaya harus lebih selektif yaitu hanya  untuk industri padat modal (misalnya elektronik, perakitan mobil dan jasa perbankan) yang memerlukan tenaga kerja terdidik dan terampil. Adapun industri  yang sifatnya adalah padat karya (misalnya sandal, rokok, sepatu, dan  tekstil) yang selama ini masih banyak didapati  di Kota Surabaya sebaiknya untuk direncanakan agar dapat  direlokasi keluar daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa industri padat karya telah menciptakan buruh murah, umumnya  tenaga kerja musiman,  yang akhirnya   tetap akan melestarikan permukiman kumuh. Hal ini tentunya merupakan kebijakan yang menjadi wewenang Pemda Tk.I dengan berkoordinasi dengan Pemda Tk II baik Kabupaten maupun Kota.  Sejalan dengan upaya tersebut pemerintah kota (Pemko) Surabaya sebaiknya juga melakukan peningkatan  program kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sebagai daerah asal utama migran non-permanen, antara lain Gresik, Sidoardjo, Lamongan, Nganjuk, Jombang dan Bangkalan. Atas dasar semangat otonomi daerah, sifat kerjasama yang diciptakan adalah saling menguntungkan antara Pemko Surabaya dengan Kabupaten tersebut di atas.

 

 

 

 

2.        MEMFASILITASI MOBILITAS ULANG-ALIK

 

           Penduduk yang bekerja di Surabaya asal kabupaten-kabupaten seputarnya  (hinterland) sebaiknya tidak tinggal di kota Surabaya tetapi cukup dengan melakukan mobilitas ulang-alik, yaitu tetap tinggal di desa asalnya. Hal ini dapat terjadi apabila sarana dan prasarana transportasi massal telah memadai. Upaya ke arah itu telah dilaksanakan baik trnasportasi dengan kereta api, bus maupun ferry. Oleh karena itu pelaksanaan program  yang sudah ada tersebut direkomendasikan untuk terus ditingkatkan kapasitas, keamanan dan  kenyamanannya, antara lain dengan memperhatikan aspek teknologi dan kepentingan masyarakat. Selain itu  ongkos tranportasi yang terjangkau,  orang akan lebih  senang menggunakan alat transportasi publik, dan akan merangsang tinggal di luar Surabaya karena harga tanah, harga rumah maupun keadaan lingkungan yang lebih kondusif daripada tinggal di Kota Surabaya.

 

3.        PEMIKIRAN  MANAGEMEN KOTA JANGKA PANJANG

 

     Dalam jangka panjang dan dalam skala yang lebih makro, bahkan  pembangunan di P. Jawa perlu dirancang dalam satu kosep pengelolaan “Java City Island”. Hasil sensus penduduk menunjukkan adanya kecenderungan penduduk Jawa yang tinggal di kota terus mengalami peningkatan. Dalam tahun 1961 dan tahun 2000, jumlah penduduk perkotaan di Jawa masing-masing mencapai 15,6 % dan 48,7 %. Dalam tempo 39 tahun penduduk Jawa yang tinggal di kota telah naik 33,1 %. Keharmonisan pembangunan perkotaan  dapat terwujud manakala ada pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi. Dengan memperhatikan adanya kecenderungan bahwa angka urbanisasi di Jawa yang terus mengalami kenaikan secara signifikan maka keberadaan Kota Metropolitan  Surabaya telah menempati bagian dari daerah perkotaan di Jawa. Dalam konteks ini untuk memecahkan persoalan perkotaan di Surabaya seharusnya juga  dilihat secara makro dan komprehensif. Hal ini dapat terwujud manakala ada  konsep pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi, meskipun pada saat ini telah ada konsep otonomi daerah.   Untuk itu dalam makalah ini perlu dilontarkan pemikiran untuk melakukan studi eksplorasi yang tujuannya adalah mencari model bagaimana mengelola Jawa sebagai kesatuan managemen, sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dan  dapat melihat  keterkaitan isu perkotaan  secara makro Jawa.

 

 

 

Rekomendasi Untuk Kebijakan Mikro

 

4.    ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

 

         Kesempurnaan sistem administrasi kependudukan memegang peranan penting dalam mendukung program kebijakan pengelolaan penduduk. Dengan penyempurnaan sistem administrasi kependudukan maka data dasar kependudukan, antara lain tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui secara akurat. Salah satu program administrasi kependudukan adalah pendataan penduduk musiman yang disebut program KIPEM. Mengingat bahwa program KIPEM belum efektif untuk menginventarisir penduduk musiman dan manfaat yang tidak jelas atas program tersebut maka perlu dikritisi tentang perannya.

 

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak semua warga pendatang yang sifatnya musiman mempunyai kartu KIPEM. Warga pendatang bahkan masih banyak yang mempertahankan kartu identitas daerah asalnya walaupun telah tinggal lama di Kota Surabaya, dengan mengutarakan berbagai alasan. Seandainya warga pendatang musiman merasakan manfaat yang nyata dengan pemilikan KIPEM maka secara otomatis mereka akan mengurusnya. Isu tersebut perlu diangkat guna menghilangkan pemikiran adanya dikhotomi antara warga Surabaya dengan migran non-permanen atau sering disebut warga pendatang musiman, yang telah mengarah pada perlakuan diskriminatif. Fakta sosial  menunjukkan bahwa penduduk musiman adalah warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung yang tentunya mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh perlindungan  dari pemerintah dan hak untuk dapat berkembang, antara lain di Kota Surabaya. Manakala program KIPEM memang bermanfaat bagi pendatang musiman, tentunya perlu peningkatan sosialisai peraturan tersebut baik di kantong-kantong permukiman di Kota Surabaya maupun daerah potensial tempat asal mereka.

 

5.     MENGHILANGKAN HUNIAN SPONTAN

          Kesalahan telah terjadi dimana pada saat pertama kali  muncul hunian spontan atau hunian ilegal di suatu tempat, namun  terus dibiarkan keberadaannya bahkan selanjutnya mendapat fasilitas publik. Seandainya sedini mungkin kontrol terhadap lingkungan permukian dijalankan dengan penuh kedisiplinan, maka hunian ilegal dapat dicegah perkembangannya. Sebagian dari penduduk musiman tersebut telah menempati lahan bukan miliknya sehingga memperoleh predikat sebagai penghuni spontan, atau ilegal atau liar. Dilihat dari kaidah hukum positif hal ini jelas melanggar. Status sebagai hunian spontan atau liar tersebut tentunya telah menimbulkan konflik kepentingan dan telah  merugikan pemilik lahan maupun Pemerintah Kota Surabaya. Dalam konteks untuk menghilangkan hunian tersebut  perlu diambil langkah kebijakan : (a) Melakukan peningkatan inventarisasi status aset lahan baik milik publik, perusahaan maupun perorangan;  (b)  Melakukan kontrol oleh instansi tingkat paling bawah secara tegas, ketat agar perluasan hunian liar dapat dihentikan; (c) Untuk  menegakkan supremasi  hukum sebaiknya permukiman liar harus dihilangkan namun perlu dicarikan jalan keluar yang tidak menimbulkan konflik. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah antara lain melakukan sosialisasi isu tersebut, kemudian perlu menindaklanjuti dengan menggalang partisipasi mereka guna mencari jalan keluar untuk mengatasinya, misalnya dengan relokasi ke rumah susun secara partisipatif.

 

 

6. PENINGKATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

 

    Sesuai dengan RUTRK, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi permukiman kumuh yang legal adalah dengan program rumah susun, perbaikan kampung, dan konsolidasi tanah. Sesuai dengan hakekat pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, maka program rumah susun bagi penduduk miskin kota, termasuk migran non-permanen, harus tetap dikembangkan kendati banyak kendala yang dihadapi. Untuk merangsang tumbuhnya rumah susun,  investor sebaiknya diberi berbagai kemudahan misalnya keringanan bunga bank, keringanan pajak, dan subsidi pengadaan lahan.  Selain  itu program pembangunan yang selama ini telah ditetapkan yaitu  dengan pola 1: 3: 6 harus tetap dilakukan. Mereka yang akan menghuni golongan rumah pola 6 tersebut pada dasarnya adalah untuk tataran masyarakat bawah namun telah disubsidi oleh  mereka yang mampu sehingga dapat menekan biaya.

 

Upaya yang selama ini pernah dilakukan tentang Kampung Improvement Programme (KIP) oleh UNEP-UNDP Tahun 1978-1980 di daerah Babakan, nampaknya perlu menjadi agenda program Pemkot Surabaya yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih luas daripada pembangunan fisik, antara lain meningkatkan peran masyarakat melalui kelembagaan yang ada , antara lain RW .  Sejalan dengan program tersebut, untuk mengatasi penduduk miskin kota, sebagai target group, tentunya upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup hunian kumuh harus tetap ditingkatkan, antara lain penyediaan infrastruktur lingkungan , pengembangan lembaga permodalan usaha skala kecil dan penyelenggaraan pelatihan ketrampilan untuk bekal berusaha. Dalam hal ini Pemkot Surabaya sebaiknya  dapat memberi kontribusi tambahan anggaran selain adanya anggaran dari APBN.

 

 

1

 


[1] Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini.

[2] Permikiman squatter yang ada di bantaran rela kereta api antara lain di Rw 02, Kel. Sukomanunggal, dan yang menempati bantaran sungai antara lain di Rw I, Kel.Warugunung.